Sigitadalah tipikal putra Soeharto yang pendiam. Dia cenderung menutup diri dari hiruk-pikuk media massa. Cuma satu kegiatannya yang membuatnya tak menghindar dari wartawan, yaitu DIKUIL PENYIKSAAN ORDE BARU; About Me. About Me. PASI Sudahlah! Tidak penting siapa aku. Akhirnyapun kau akan tahu. Memuat. Tema Tampilan Dinamis. Diberdayakan oleh Blogger. Khususnyadi Bosnia, dengan bantuan pengamanan pemerintah setempat dan PBB, saya melihat-lihat keganasan perang di bekas kamp-kamp penyiksaan tentara Serbia terhadap warga Bosnia. Sebuah pembersihan etnis yang gila-gilaan yang tidak menyisakan rasa kemanusiaan, juga rasa belas kasihan. Bakgayung bersambut Korporatokrasi disambut kleptokrasi Rezim Orde Baru. Pola ini membuat konspirasi lingkaran setan utang pembangunan. Raja Philip IV memerintahkan penangkapan Jacques de Molay. Dan setelah melalui penyiksaan demi penyiksaan, de Molay mengakui segala ritual bid’ah yang dilakukan oleh Ordo Templar. Pada tahun 1312, Ordo DiKuil Penyiksaan Orde Baru. Ilustrasi Soeharto PERISTIWA itu terjadi sepuluh tahun lalu, tapi semuanya masih tetap basah dalam ingatan. Kami berempat: Aan Rusdi Tragedi Membara di Sindang Raya. Tragedi Sindang Raya Huru-hara ini bermula dari sebuah poster. Berjudul "Agar Wanita Memakai Pakaian Jilbab", poster itu me Penyiksaanjuga pernah dialami oleh Haryanto Taslam. Disebutkan Amien, ia pernah ditahan selama beberapa hari karena mengoreksi rezim Orde Baru. "Dia mengatakan Pak HHiqZC. Sore itu, saya memberanikan diri bertandang ke Rumah Bengawan Solo, usai mengikuti diskusi buku Laut Bercerita yang ditulis oleh Leila S Chudori. Sekedar informasi untuk Sahabat Boombastis Saboom, buku baru Leila S Chudori ini bercerita tentang carut-marut tragedi 1998—pemberontakan mahasiswa diikuti tragedi penculikan dan penghilangan paksa 9 dari 22 orang di antara mereka. Salah satu dari korban hilang bernama Petrus Bima Anugerah. Di ruang diskusi itulah saya pertama kali bertemu dengan orangtua korban penculikan 1998 tersebut di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang. Lalu saya bertanya, “apa boleh sowan ke rumah Bengawan Solo?” Mereka menyilakan saya dengan hangat. Dari sinilah saya mulai mengenal lebih dekat siapa Petrus Bima Anugerah dan keluarganya yang tetap setia menanti di Rumah Bengawan Solo selama 20 tahun. Mengenal Petrus Bima Anugerah Siapa Petrus Bima Anugerah? Pasti pertanyaan tersebut yang pertama kali terbersit di pikiran Saboom sekalian. Ia adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Surabaya, angkatan 1993. Lahir di Malang, 24 September 1973, anak kedua dari empat bersaudara Dionysius Utomo Rahardjo dan Genoveva Misiati. Rumah Bengawan Solo Dia melakukan apa untuk Indonesia, kok kita harus mengenalnya? Ini pasti menjadi pertanyaan kedua Saboom sekalian. Jika saya menyebut Munir, kalian pasti sudah tahu lah ya bagaimana kisahnya. Ternyata, di balik Munir masih ada 22 aktivis pemberontakan rezim kejam Orde Baru yang menerima perlakuan tidak adil dan kekerasan. Mereka telah berjasa membuat Indonesia cukup aman dan bebas menyampaikan pendapat seperti saat ini. Mereka bukan hanya tak diadili rezim penguasa, bahkan hilang tanpa kabar sampai sekarang. Di Kuil Penyiksaan Orde Baru dan Laut Bercerita Merujuk artikel yang ditulis Nezar Patria, di majalah Tempo edisi khusus Soeharto berjudul Di Kuil Penyiksaan Orde Baru, tahun 1998 ia pindah dari Yogyakarta ke Rumah Susun Klender, Jakarta Timur bersama tiga orang teman, Aan Rusdiyanto, Mugiyanto, dan Petrus Bima Anugerah. Mereka anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi SMID. Bimo—panggilan akrab Petrus Bima Anugerah menjabat sebagai Koordinator Divisi Pendidikan, Agitasi, dan Propagada di SMID. Dionysius Utomo dan Laut Bercerita Novel Laut Bercerita karya Leila S Chudori mengambil kisah Bimo sebagai tokoh Biru Laut yang tak gentar melawan kekejian Orde Baru. Pemuda ini selalu saja rindu masakan rumah yaitu gulai tengkleng, yang belakangan diketahui sebenarnya sayur lodeh, ungkap Pak Tomo, ayahnya. Dalam novel tersebut dikisahkan dengan mendalam bagaimana mereka berempat diculik oleh Tim Mawar di bawah naungan Kopassus untuk disiksa dipukuli, dipaksa berbaring di balok es, serta disetrum sambil diinterogasi. Apa yang tertulis dalam novel persis dengan apa yang disampaikan Nezar Patria dalam artikelnya. Surat terakhir Bimo untuk keluarga di Rumah Bengawan Solo Dari awal saya menyebut Bengawan Solo, mungkin Saboom sekalian merujuk pada sungai terpanjang di Indonesia itu. Bukan, bukan, Bengawan Solo yang dimaksud adalah salah satu nama jalan di Malang, tempat tinggal Bimo. Rumah Bengawan Solo berada di pojokan gang kecil. Rumah mungil dengan papan nama D. Utomo, nomor 20. Saya disambut hangat dengan suguhan air putih yang menyegarkan tenggorokan ketika tercekat menyimak kesaksian demi kesaksian orangtua Bimo. Paduan kehangatan dan kesegaran yang bermakna. Surat Terakhir Petrus Bima Anugerah Pak Tomo membeberkan surat-surat Bimo, karikatur, serta potret terakhir yang tersimpan rapi di Rumah Bengawan Solo. Hal yang terasa paling ironis yaitu saat menyimak selembar surat terakhirnya, saya bilang, “mas Bimo detil sekali ya bu,” sebab di akhir tulisan tangan itu Bimpet berjanji akan pulang pada Paskah, April 1998. Ternyata setelah 20 tahun berlalu, keluarga Bimo tak pernah lagi merayakan Paskah dengan lengkap. Janji Jokowi saat kampanye Sebelum terdapuk sebagai presiden, Jokowi sempat mengundang Pak Tomo dan beberapa keluarga orang-orang yang dihilangkan secara paksa, tergabung dalam Ikatan Orang Hilang Indonesia IKOHI, untuk berdiskusi. Kala itu Pak Tomo hadir antara lain bersama Fitri Nganthi Wani—putri pertama Wiji Thukul yang juga korban penghilangan paksa pada era rezim Orde Baru. Mereka berpikir akan mendapat sedikit angin segar dari Jokowi. Apa Kabar Janji Jokowi Selayaknya politikus yang berjanji, Jokowi menyatakan akan mengulas kembali dan mencari korban hilang dalam kasus pelanggaran HAM ’65, ’78, serta ’98. “Simpelnya, orang hilang ya dicari, tapi enggak tahu bakal ditemukan atau tidak,” ungkap Pak Tomo pasrah. Beliau hampir selalu mendapat pertanyaan yang sama tanpa titik-terang. Menjelang masa akhir jabatan Jokowi ini pun, IKOHI belum mendapat kepastian atas janji empat tahun lalu. “Melawan Lupa,” pesan bagi kids zaman now terkait sejarah negara ini Sekarang kita bisa bebas berkomentar, menjadi netizen yang julita jaya dan maha benar, namun sadarkah kita berkat Bimo dan kawan-kawan hak tersebut bisa kita dapat. Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban kids zaman now untuk melawan lupa dan lebih jauh mempelajari bagaimana Indonesia bisa mencapai kemudahan dan kebebasan seperti yang kita kecap sekarang. Bimo Petrus Belum Pulang Pak Tomo dengan rendah hati menyatakan banyak terima kasih pada penggiat media, serta Leila S Chudori khususnya yang telah melahirkan kisah bangsa Indonesia di tahun 1998. For your information, sebelum Laut Bercerita terbit, penulis asal Malang, Ratna Indraswari Ibrahim juga mengangkat kisah serupa dalam novel berjudul 1998. Hanya dengan membaca dan terus merawat memori tersebut, kids zaman now tentu tak segan bertindak jikalau kejadian tersebut terulang di Indonesia. Jangan sampai! Amit-amit, Saboom. Perjuangan keluarga Bimo di Rumah Bengawan Solo untuk menanti kehadiran putra mereka memang tak mudah. Tak sedikit dipandang sebelah mata oleh tetangga. Ibu Genoveva berpesan pada saya sebelum pamit, “yang kami butuhkan selama ini hanya satu, kepastian. Kalau memang masih ada sekarang ada di mana? Kalau memang sudah tidak ada, mbok yo dikasih tahu kapan dan kena apa, biar kita bisa mendoakan.” Hari ini, tepat 20 tahun yang lalu Bimo dinyatakan hilang, Rumah Bengawan Solo pun tetap merayakan Paskah, tanpa kehadirannya. Ilustrasi Soeharto PERISTIWA itu terjadi sepuluh tahun lalu, tapi semuanya masih tetap basah dalam ingatan. Kami berempat Aan Rusdianto, Mugiyanto, Petrus Bima Anugerah, dan saya adalah anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi SMID. Baru sepuluh hari kami bertempat tinggal di rumah susun Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur itu. Tak seorang tetangga pun tahu bahwa kami anggota gerakan anti kediktatoran. Saat itu, Maret 1998, politik Indonesia sedang panas. Di tengah aksi protes mahasiswa, Sidang Umum MPR kembali mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Di kampus, gerakan menentang rezim Orde Baru kian marak. Setiap hari, kemarahan membara di sekujur negeri. Kota-kota dibungkus selebaran, spanduk, dan poster. Indonesia pun terbelah pro atau anti-Soeharto. Sejak dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 tapi tak pernah terbukti di pengadilan, SMID dan semua organisasi yang berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik PRD dinyatakan oleh pemerinah sebagai organisasi terlarang. Sejak itu, hidup kami terpaksa berubah. Kami diburu aparat keamanan Orde Baru. Maka, tak ada jalan lain kecuali bergerak gaya bawah tanah. Nama asli berganti alias. Setiap kali berpindah rumah, harus menyaru sebagai pedagang buku atau lainnya. Tapi petualangan bawah tanah itu berhenti pada 13 Maret 1998. Malam itu, sekitar pukul tujuh, saya baru saja pulang dari Universitas Indonesia, Depok. Ada rapat mahasiswa sore itu di sana. Aan, mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang sudah berada di rumah. Setelah mandi, saya menjerang air. Mugiyanto berjanji pulang satu jam lagi, dan dia akan membeli makan malam. Sementara, Bima Petrus berpesan pulang agak larut. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Begitu Aan membuka pintu, empat lelaki kekar merangsek masuk. Mereka menyergap dan memiting tangan Aan. Saya kaget. Sekelebat saya melongok ke arah jendela. Kami berada di lantai dua, dan di bawah sana sejumlah "tamu tak diundang" sudah menunggu. Mereka memakai seibo penutup wajah dari wol, tapi digulung sebatas tempurung kepala. Wajah mereka masih terlihat jelas. "Mau mencari siapa?" tanya saya. "Tak usah tanya, ikut saja," bentak seorang lelaki. Setelah mencengkeram Aan, dua lainnya mengapit saya. Kami digiring menuruni tangga. Saya agak meronta, tapi dengan cepat seseorang mencabut pistol. Sekejap, kesadaran saya bicara saya diculik! Dan dua mobil Kijang sudah menunggu di bawah. Di dalam mobil, mata saya ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala saya dengan seibo itu. Saya juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada Aan. Dompet saya diperiksa. Sial, mereka mendapat KTP saya dengan nama asli. "Wah, benar, dia Nezar, Sekjen SMID!" teriak salah satu dari mereka. Di mobil, mereka semua bungkam. Kaca tertutup rapat. Lagu house music diputar berdebam-debam. Lalu kendaraan itu melesat kencang, dan berhenti sejam kemudian. Tak jelas di daerah mana. Terdengar suara handy talkie mencicit, "Merpati, merpati." Agaknya itu semacam kode mereka. Rupanya, mereka meminta pintu pagar dibuka. Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah mengucur. Setelah itu, saya dibaringkan ke velbed. Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel. Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. Karena tak puas dengan jawaban, alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan tulang dan sendi. "Kalian bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?" tanya suara itu dengan garang. Absurd. Saat itu, kami mendukung Mega-Amien melawan kediktatoran. Tapi belum pernah ada rapat bersama dua tokoh itu. Saya tak banyak menjawab. Mereka mengamuk. Satu mesin setrum diseret mendekati saya. Lalu, kepala saya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. "Allahu akbar!" saya berteriak. Tapi mulut saya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak sadar, tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap. l l l ENTAH pukul berapa, tiba-tiba saya mendengar suara alarm memekakkan telinga. Saya tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Ini mungkin kuil penyiksaan sejati, tempat ritus kekerasan berlaku tiap menit. Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Saya juga mendengar jeritan Mugiyanto. Rupanya, dia "dijemput" sejam setelah kami ditangkap. Hati saya berdebar mendengar dia dihajar bertubi-tubi. Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul kami terlibat konspirasi rencana penggulingan Soeharto. Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror mental. Pernah, setelah beberapa jam tenang, mendadak kami dikejutkan tongkat listrik. Mungkin itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, karena mata tertutup, dan orientasi waktu hilang. Selintas saya berpikir bahwa penculik ini dari satuan profesional. Mereka bilang, pernah bertugas di Aceh dan Papua segala. Klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke pelipis saya. "Sudah siap mati?" bisik si penculik. Saat itu mungkin matahari sudah terbenam. Saya diam. "Sana, berdoa!" Kerongkongan saya tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu bahwa hidup saya berakhir di sini. Saya pasrah. Saya berdoa agar jalan kematian ini tak begitu menyakitkan. Tapi "eksekusi" itu batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan memantau kami di mana saja. Akhirnya kami dibawa ke suatu tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan lembaga lain. Belakangan, diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana kami bertiga dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap orang dengan lampu lima belas watt, tanpa matahari dan senam pagi. Hari pertama di sel, trauma itu begitu membekas. Saya takut melihat pintu angin di sel itu. Saya cemas, kalau si penculik masih berada di luar, dan bisa menembak dari lubang angin itu. Ternyata semua kawan merasakan hal sama. Sepekan kemudian, Andi Arief kini Komisaris PT Pos Indonesia diculik di Lampung. Setelah disekap di tempat "X", dia terdampar juga di Polda Metro Jaya. Sampai hari ini, peristiwa itu menjadi mimpi buruk bagi kami, terutama mengenang sejumlah kawan yang hilang dan tak pernah pulang. Mereka adalah Herman Hendrawan, Bima Petrus, Suyat, dan Wiji Thukul. Setelah reformasi pada 1998, satu regu Kopassus yang disebut Tim Mawar sudah dihukum untuk kejahatan penculikan ini. Adapun Dewan Kehormatan Perwira memberhentikan bekas Danjen Kopassus Letnan Jenderal Prabowo sebagai perwira tinggi TNI. Prabowo mengaku hanya mengambil sembilan orang. Semuanya hidup, dan sudah dibebaskan. Pada 1999, majalah ini mewawancarai Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan dilakukan Prabowo atas perintah para atasannya. Siapa? "Ada tiga Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto," ujar Sumitro. Lalu kini apakah kami, rakyat Indonesia, harus memaafkan Soeharto? Doa saya untuk kawan-kawan yang belum atau tidak kembali. About Unknown This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori mengisahkan tokoh Biru Laut, seorang mahasiswa Sastra Inggris UGM yang juga merupakan aktivis prodemokrasi yang tergabung dalam kelompok Winatra. Laut merupakan salah satu aktivis yang diculik dan "dihilangkan".Saking cintanya saya dengan novel ini, mulailah aksi stalking dan berseluncur di internet. Demi mendapat pencerahan atas banyaknya pertanyaan saya. Saya menemukan beberapa fakta yang tidak ternyata kisah dalam novel ini terinspirasi dari penculikan aktivis di pengujung masa orde baru. Dari penculikan yang diungkap, ada sembilan aktivis yang telah dibebaskan, satu aktivis ditemukan meninggal, dan tiga belas lainnya dinyatakan hilang dan belum ada kejelasan hingga kini. Kejadian-kejadian di novel ini ditulis berdasarkan kisah dari para aktivis yang selamat, keluarga korban yang ditinggalkan, dan pihak-pihak lain yang bersinggungan dengan tragedi kemanusiaan ini. Pantas saja, rentetan peristiwa di sini terasa begitu hidup dan nyata. Diskusi sembunyi-sembunyi, buku-buku yang dilarang, sampai aksi pengejaran mahasiswa oleh intel. Begitupun saat penculikan, mulai dari datangnya para aparat, proses penyiksaan dan interogasi, hingga pembebasan para aktivis diceritakan begitu yang nggak kalah menarik dari cerita ini adalah, saya jadi kepo abis sama tragedi penculikan aktivis itu. Seperti yang saya sebutkan diatas, banyak tokoh yang sebenarnya terinspirasi dari tokoh nyata. Penulis menyatakan, satu tokoh dalam novel ini merupakan gabungan dari dua atau tiga tokoh sekaligus. Tapi menurut saya, ada beberapa tokoh yang dominan dan bisa kita tebak siapa sebenarnya dia di dunia nyata. 1 Biru Laut. Tokohnya yang merupakan Sekjen Winatra dan penulis, sudah jelas mirip dengan Nezar Patria, salah satu korban penculikan yang selamat. Ia merupakan mahasiswa yang aktif menulis dan Sekjen Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi SMID, organisasi mahasiswa yang dilarang di masa orde baru. Kisah penculikan di rusun dan penyiksaannya juga menjadi rujukan kisah Nezar pernah bekerja di Tempo, dimana ia bekerja bersama Leila, dan diminta menceritakan kisah penculikannya nyaris tanpa sensor yang dimuat dengan judul "Di Kuil Penyiksaan Orde Baru".Jujur saja, keputusan Nezar untuk menjadi wartawan ini menurut saya sih keren. Tipe yang menghindari konfrontasi politik dan memilih jalan yang beraroma perjuangan. Kali ini, perjuangannya bukan dengan aksi, tapi menulis. 1 2 3 Lihat Humaniora Selengkapnya Saat itu, Maret 1998, politik Indonesia sedang panas. Di tengah aksi protes mahasiswa, Sidang Umum MPR kembali mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Di kampus, gerakan menentang rezim Orde Baru kian marak. Setiap hari, kemarahan membara di sekujur negeri. Kota-kota dibungkus selebaran, spanduk, dan poster. Indonesia pun terbelah pro atau anti-Soeharto. Sejak dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 tapi tak pernah terbukti di pengadilan, SMID dan semua organisasi yang berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik PRD dinyatakan oleh pemerinah sebagai organisasi terlarang. Sejak itu, hidup kami terpaksa berubah. Kami diburu aparat keamanan Orde Baru. Maka, tak ada jalan lain kecuali bergerak gaya bawah tanah. Nama asli berganti alias. Setiap kali berpindah rumah, harus menyaru sebagai pedagang buku atau lainnya. Tapi petualangan bawah tanah itu berhenti pada 13 Maret 1998. Malam itu, sekitar pukul tujuh, saya baru saja pulang dari Universitas Indonesia, Depok. Ada rapat mahasiswa sore itu di sana. Aan, mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang sudah berada di rumah. Setelah mandi, saya menjerang air. Mugiyanto berjanji pulang satu jam lagi, dan dia akan membeli makan malam. Sementara, Bima Petrus berpesan pulang agak larut. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Begitu Aan membuka pintu, empat lelaki kekar merangsek masuk. Mereka menyergap dan memiting tangan Aan. Saya kaget. Sekelebat saya melongok ke arah jendela. Kami berada di lantai dua, dan di bawah sana sejumlah “tamu tak diundang” sudah menunggu. Mereka memakai seibo penutup wajah dari wol, tapi digulung sebatas tempurung kepala. Wajah mereka masih terlihat jelas. “Mau mencari siapa?” tanya saya. “Tak usah tanya, ikut saja,” bentak seorang lelaki. Setelah mencengkeram Aan, dua lainnya mengapit saya. Kami digiring menuruni tangga. Saya agak meronta, tapi dengan cepat seseorang mencabut pistol. Sekejap, kesadaran saya bicara saya diculik! Dan dua mobil Kijang sudah menunggu di bawah. Di dalam mobil, mata saya ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala saya dengan seibo itu. Saya juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada Aan. Dompet saya diperiksa. Sial, mereka mendapat KTP saya dengan nama asli. “Wah, benar, dia Nezar, Sekjen SMID!” teriak salah satu dari mereka. Di mobil, mereka semua bungkam. Kaca tertutup rapat. Lagu house music diputar berdebam-debam. Lalu kendaraan itu melesat kencang, dan berhenti sejam kemudian. Tak jelas di daerah mana. Terdengar suara handy talkie mencicit, “Merpati, merpati.” Agaknya itu semacam kode mereka. Rupanya, mereka meminta pintu pagar dibuka. Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah mengucur. Setelah itu, saya dibaringkan ke velbed. Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel. Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. Karena tak puas dengan jawaban, alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan tulang dan sendi. “Kalian bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?” tanya suara itu dengan garang. Absurd. Saat itu, kami mendukung Mega-Amien melawan kediktatoran. Tapi belum pernah ada rapat bersama dua tokoh itu. Saya tak banyak menjawab. Mereka mengamuk. Satu mesin setrum diseret mendekati saya. Lalu, kepala saya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. “Allahu akbar!” saya berteriak. Tapi mulut saya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak sadar, tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap. ENTAH pukul berapa, tiba-tiba saya mendengar suara alarm memekakkan telinga. Saya tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Ini mungkin kuil penyiksaan sejati, tempat ritus kekerasan berlaku tiap menit. Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Saya juga mendengar jeritan Mugiyanto. Rupanya, dia “dijemput” sejam setelah kami ditangkap. Hati saya berdebar mendengar dia dihajar bertubi-tubi. Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul kami terlibat konspirasi rencana penggulingan Soeharto. Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror mental. Pernah, setelah beberapa jam tenang, mendadak kami dikejutkan tongkat listrik. Mungkin itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, karena mata tertutup, dan orientasi waktu hilang. Selintas saya berpikir bahwa penculik ini dari satuan profesional. Mereka bilang, pernah bertugas di Aceh dan Papua segala. Klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke pelipis saya. “Sudah siap mati?” bisik si penculik. Saat itu mungkin matahari sudah terbenam. Saya diam. “Sana, berdoa!” Kerongkongan saya tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu bahwa hidup saya berakhir di sini. Saya pasrah. Saya berdoa agar jalan kematian ini tak begitu menyakitkan. Tapi “eksekusi” itu batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan memantau kami di mana saja. Akhirnya kami dibawa ke suatu tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan lembaga lain. Belakangan, diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana kami bertiga dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap orang dengan lampu lima belas watt, tanpa matahari dan senam pagi. Hari pertama di sel, trauma itu begitu membekas. Saya takut melihat pintu angin di sel itu. Saya cemas, kalau si penculik masih berada di luar, dan bisa menembak dari lubang angin itu. Ternyata semua kawan merasakan hal sama. Sepekan kemudian, Andi Arief kini Komisaris PT Pos Indonesia diculik di Lampung. Setelah disekap di tempat “X”, dia terdampar juga di Polda Metro Jaya. Sampai hari ini, peritiwa itu menjadi mimpi buruk bagi kami, terutama mengenang sejumlah kawan yang hilang dan tak pernah pulang. Mereka adalah Herman Hendrawan, Bima Petrus, Suyat, dan Wiji Thukul. Setelah reformasi pada 1998, satu regu Kopassus yang disebut Tim Mawar sudah dihukum untuk kejahatan penculikan ini. Adapun Dewan Kehormatan Perwira memberhentikan bekas Danjen Kopassus Letnan Jenderal Prabowo sebagai perwira tinggi TNI. Prabowo mengaku hanya mengambil sembilan orang. Semuanya hidup, dan sudah dibebaskan. Pada 1999, majalah ini mewawancarai Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan dilakukan Prabowo atas perintah para atasannya. Siapa? “Ada tiga Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto,” ujar Sumitro. Lalu kini apakah kami, rakyat Indonesia, harus memaafkan Soeharto? Doa saya untuk kawan-kawan yang belum atau tidak kembali. [Nezar Patria TEMPO] Sumber facebook Muhanto Hatta Post Views 1,075 Ada perintah pada masa Orde Baru, untuk menculik sejumlah aktivis mahasiswa. Empat orang dari mereka yang diculik belum kembali sampai hari ini. Wartawan Tempo Nezar Patria, pada 1997 adalah aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi yang menjadi satu dari korban penculikan yang selamat. Berikut adalah pengalamannya PERISTIWA itu terjadi sepuluh tahun lalu, tapi semuanya masih tetap basah dalam ingatan. Kami berempat Aan Rusdianto, Mugiyanto, Petrus Bima Anugerah, dan saya adalah anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi SMID.Baru sepuluh hari kami bertempat tinggal di rumah susun Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur itu. Tak seorang tetangga pun tahu bahwa kami anggota gerakan dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 tapi tak pernah terbukti di pengadilan, SMID dan semua organisasi yang berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik PRD dinyatakan oleh pemerinah sebagai organisasi terlarang. Sejak itu, hidup kami terpaksa berubah. Kami diburu aparat keamanan Orde Baru. Maka, tak ada jalan lain kecuali bergerak gaya bawah tanah. Nama asli berganti alias. Setiap kali berpindah rumah, harus menyaru sebagai pedagang buku atau terdengar suara ketukan. Begitu Aan membuka pintu, empat lelaki kekar merangsek masuk. Mereka menyergap dan memiting tangan Aan. Saya kaget. Sekelebat saya melongok ke arah jendela. Kami berada di lantai dua, dan di bawah sana sejumlah ”tamu tak diundang” sudah menunggu. Baca lebih lajutMajalah Tempo » Loading news...Failed to load depan, tiket kereta jarak jauh bisa dipesan H-90 keberangkatan - ANTARA NewsANTARA - PT Kereta Api Indonesia KAI memperpanjang periode pemesanan tiket kereta api jarak jauh. Per 10 Juni 2023, Vice President of Public Relations KAI ... Baca lebih lajut >> Informasi Daya Tampung PTN untuk Mahasiswa Baru di Permendikbud 6/2020PTN menetapkan dan mengumumkan jumlah Daya Tampung mahasiswa baru untuk SNMPTN, SBMPTN, dan Seleksi lainnya, dengan aturan sebagai berikut ~ EdukasiBieber akan Rilis Album Baru di Hari ValentineChanges merupakan album studio kelima Bieber yang ditelurkan setelah album terakhirnya, Purpose, yang dirilis pada akhir 2015. 🇮🇩🤝🇲🇾Babak Baru Penyelidikan Kasus Prostitusi Anak di Kalibata CityTidak hanya mengejar satu tersangka lain, polisi juga menemukan beberapa fakta baru dan pemeriksaan saksi-saksi Wabah Korona Baru Terkendali di ASAS sudah mengevakuasi warganya dari China beberapa hari yang Baru Pulang dari China Dirawat di RSUD dr Soedono MadiunHY, mahasiswi asal Madiun mengalami sakit batuk dan pilek setelah pulang dari Beijing, China. CoronaABK yang Baru Pulang dari China Dirawat di RSU Soetomo Negatif Virus Corona'Pasien itu tidak terindikasi virus corona. Pasien itu adalah terindikasi lebih kepada sakit jantung dan sakit livernya,' kata kata Humas RSU dr Soetomo Surabaya dr Pesta Parulin. VirusCorona

di kuil penyiksaan orde baru